Mind Your Languange

12:18 pm Pertiwi Soraya 0 Comments


“Bilang sama lusi kalau kelas kita hari ini di-cancel, soalnya aku lupa nge-save nomor nya.”


Ada yang salah dengan kalimat di atas? Apanya hayo?
Kalimatnya tidak baku, atau cara penulisannya yang kurang tepat?


Perhatikan bahasamu. Begitulah kira-kira arti judul di atas.
Judul yang klise mungkin. Tapi itulah topik yang ingin saya angkat kali ini.




Berawal dari sebuah artikel yang dibagikan ke facebook oleh seorang kakak kelasku. Artikel itu menyorot tentang bahasa yang dipergunakan Cinta Laura
pada mulanya. Seperti yang kita tahu, terlepas dari pelafalan dan dialeknya, penggunaan bahasanya yang terkesan campur aduk, Indonesia dan Inggris, tak jarang membuat pendengarnya menganggap Cinta sebagai orang yang sombong, dan kebarat-baratan. Namun, tak sedikit pula yang dengan sadar atau tidak, malah meniru pola bahasanya.


Berupa alasan pun bermunculan. Agar terdengar lebih gaul, lebih terpelajar, lebih moderen, dan sebagainya. Pada akhirnya kita pun terbiasa mencampur-adukkan dua atau lebih bahasa dalam satu kalimat. Sudah jadi trend malah. Malahan, ketika sebuah kalimat di buat seluruhnya dalam bahasa indonesia, jadi terdengar sangat aneh di telinga.


“Barusan aku mengunduh berkas dari internet, isinya bagus lho. Nih, mau aku cetak. Kalau mau salinannya boleh kok.”

Pembaca mungkin butuh mengulang bacaannya kembali, dan pendengar perlu waktu sejenak untuk mencerna maksudnya.

“Barusan aku nge-download file dari internet, content-nya bagus lho. Nih, mau aku print. Kalau mau copy-annya boleh, kok.”


Yang terakhir lebih enak didengar dan dimengerti kan? Atau malah yang ini,


“Barusan aku ngedonlot fail dari internet, kontennya bagus lho. Nih, mau aku prin. Kalau mau kopiannya boleh, kok”



Jadi gak boleh ngomong bahasa Inggris gitu? Kan ada juga kata yang enggak efektif kalau pakai bahasa Indonesianya. Bukannya kegunaan dari “bahasa” adalah alat komunikasi. So, as long as bahasa dan maksudnya dimengerti, it’s ok dong?! (ngambek)

Well, I don’t judge people by their language. But I just can’t ignore when they choose their words, and the way they express the language. In fact, those things affect the impression they made. I don’t know about you. But I believe that the language we produce show what kind of person we are. (of course it’s not only about the spoken one).



Sama halnya dengan Cinta Laura. Dibalik tata bahasa Indonesianya yang belepotan dan dialeknya yang terkesan sombong,  Kita perlu meninjau latar belakang kehidupannya. Ia dibesarkan di keluarga yang berbahasa Jerman dan Inggris. Lingkunan tempat tinggalnya berpindah-pindah, dengan mayoritas berbahasa Inggris. Otomatis, ia juga berfikir dalam bahasa Inggris. Sehingga ketika ia harus berbahasa Indonesia, Ia menterjemahkan bahasa inggris dari otaknya kedalam bahasa Indonesia. Ini menjelaskan tata bahasa Indonesianya kadang terdengar aneh.


Begitu pula ketika kita berbahasa Inggris. Tata bahasa dan dialek yang kita ucapkan mau tak mau terdengar aneh di telinga para pengguna asli bahasa tersebut, karena kita berfikir dengan bahasa yang berbeda dengan mereka, dengan pola yang berbeda pula.


Namun, mengapa kita jadi merasa asing dengan dengan bahasa ibu kita? Seakan ada yang kurang  jika suatu kalimat tidak diaduk dengan bahasa Inggris atau bahasa alay (untuk saat ini). Lagi-lagi pasal trend, mode, teknologi dan teman-temannya.



Kita memang tak bisa menghindar dari perkembangan teknologi. Justru itulah yang mempermudah hidup kita. Tapi jangan mau jadi korban teknologi dong. Bukankah manusia yang menciptakannya, jangan jadi korban ciptaaan sendiri. Itu namanya tanaman makan pagar. (Hayo benar atau salah pribahasanya?)
Maksudnya, senjata makan tuan. (^_^)


Salah satu dampak teknologi pada perkembangan bahasa adalah adanya kata serapan.  Alasannya karena tidak ada padanan kata yang sesuai dalam bahasa Indonesia untuk suatu kata asing. Cara penyerapannya juga macam-macam, ada yang diserap dengan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, ada yang di adaptasikan dengan lidah orang Indonesia, dan ada juga yang diambil bulat-bulat. Penggunaannya dalam bahasa, terutama bahasa tulis juga ada ketentuannya.  Jika tertarik, silahkan lihat buku Kesusatraan Bahasa Indonesia oleh Sutan Ali Tsahbana atau Ejaan Yang Disempurnakan alias EYD. (Maaf saya lupa penulisnya).



Menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar merupakan rasa hormat pada bahasa dan rasa cinta pada bangsa. Bukan berarti kita tak boleh mempelajari bahasa lainnya dong. Penelitian menyebutkan bahwa orang yang menguasai bahasa lebih banyak cenderung memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi. Jadi silahkan mempelajari bahasa apapun sebanyak-banyaknya. Namun, jangan lupa untuk menghormati bahasa tersebut. (Hormat grak!)



Gunakanlah suatu bahasa secara konsisten. Jika berbicara dalam bahasa Prancis, gunakanlah  bahasa Prancis seutuhnya. Paling tidak dalam satu kalimat utuh, tanpa dinodai oleh bahasa lainnya. Saya ulangi, paling tidak dalam satu kalimat utuh. Sama halnya dengan bahasa Indonesia.

Dibutuhkan “kesadaran” diri bahwa bahasa kita saat ini sedang dijajah identitasnya, dan kita malah menikmatinya. (seram juga ternyata)
 
Jadi, mari mulai sekarang, kita menggunakan bahasa dengan sebaik-baiknya. Jika suatu “kata” masih ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia maka gunakanlah “kata” itu. Karena  sebenarnya si “kata” tersebut sedang terancam punah dari peredaran. Dengan menggunakannya berarti kita ikut melestarikan keberlangsungan hidup si “kata”. (kampanye, kampanye)



Bahasa mencerminkan bangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. (yang kedua nyambung kemana ni? Jangan serius-serius amat Ya)

Bahasa mencerminkan bangsa. Ketika bangsa bingung, apa bahasa Indonesianya untuk kata yang mereka sebutkan, maka bangsa mulai galau. Ketika bangsa galau, saat itulah bangsa mulai kehilangan jati dirinya. Saat kehilangan jati diri, keinginan selanjutnya adalah membuat  identitas diri yang baru, hingga akhirnya tak mengenal diri sendiri. Kenal adalah kata lain dari tahu. Maka tak mengenal diri sama dengan tak tahu diri. (Ini apaan sih)

Suatu kebiasaan memang tak mudah dirubah, tapi bukan berarti tak mungkin. Sesuatu yang aneh jika dilakukan berjamaah dan terus-menerus, maka akan menjadi sesuatu yang sangat lazim . Justru hal yang semestinya dan sepatutnya malah dianggap aneh dan tak lazim. Dengan alasan beragam, ketinggalan zaman, kuno, gak up to date, gak efisien, de el el.



Bahasa merupakan maksud yang ingin disampaikan oleh otak. sadar atau pun tidak. Bukan berarti bahwa orang yang baik budi bahasanya pasti baik keperibadiannya, dan orang yang kurang baik santun bahasanya, pasti kurang baik pula pribadinya.
 
Bagaimana jika kita gubah sekit redaksi katanya menjadi ,
“Orang yang baik budi bahasanya saja belum tentu baik pribadinya, konon pula orang dengan  yang kurang baik santun bahasanya.”

  Setuju?


Change the way you speak the language,

You’ll change the way you’re thingking,

 Then you’ll change your life.





26 Feb ’14




(00.45 am)

You Might Also Like

0 comments:

Thank you for visiting. Feel free to leave your response. 🙏😁😄