Showing posts with label Feature. Show all posts

Sepotong Cerita dari Kanreapia: Ketika Budaya Bertemu Pemuda

Hisss! 

Darah segar langsung terbit menetes. Belum sampai 5 detik pisau cutter itu kupegang, alih-alih jeruk nipis yang ku potong, malah ujung telunjuk kiriku yang tersayat cukup dalam. Entah sugesti, entah memang naas, hampir tiap kali ketika aku menggunakan pisau cutter baru, walau sudah sangat berhati-hati, selalu saja ada tragedi sayatan berdarah yang ku alami. Kalau tak terpaksa kali, tak akan mau aku pakai pisau cutter baru. Dan di rewang kali itu, termasuk kondisi terpaksa, karena aku memang tak bawa pisau dari rumah. Ya tak mungkin kan aku bawa pisau dari rumah untuk rewang lintas kabupaten. Dari Aek Loba ke Batu Bara. 

Tahu rewang, kan? Bagi orang Sumut, rewang adalah salah satu tradisi gotong royong ketika ada hajatan. Ibu-ibu terutama bagian masak-memasak, bapak-bapak bagian peralatan, parut kelapa, mengaduk wajik dan jenang, potong lembu dan sebagainya, anak-anak muda bagian angkat piring, bahan makanan, juga lek-lek-an alias jaga malam. 

Selain rewang, ada juga tradisi gotong royong lain yang dulu sering dilakukan, sekarang sudah jarang kulihat di desaku. Sambatan namanya. Ini jenis gotong-royong ketika kita membangun sesuatu. Biasanya satu atau dua hari selesai. Misalnya bangun rumah (setengah papan), membuat kandang lembu, kandang ayam, membuat cakruk, dan sebagainya. Jadi para tetangga (bapak-bapak biasanya) berdatangan ikut membantu. Si tuan rumah akan menyediakan teh manis dan kudapan. Makan siang umumnya tak disediakan, karena bapak-bapak ini akan pulang ke rumah masing-masing ketika jam makan siang. Lalu sorenya akan lanjut lagi.
 
Nah, satu lagi jenis gotong-royong yang dulunya ada di desa kami adalah gotong royong membersihkan lingkungan. Biasanya diadakan di Minggu pagi. Sehari sebelumnya, Pak Kadus akan berkeliling memberitahu tiap rumah. Dulu, 2 pekan sekali pasti ada gotong royong. Sekarang, setahun sekali pun belum tentu ada. Agaknya makin lama dunia makin sibuk dengan urusan masing-masing ya. Tinggal rewang saja kini yang masih dipraktikkan di desa kami. Apakah di semua desa di Indonesia budaya gotong royong memang makin menipis tergerus masa? 

Ternyata tidak semuanya. Ada satu desa di Indonesia yang karena budaya gotong-royongnya malah membuat desanya jadi dikenal dunia. Desa Kanreapia namanya. Sebuah desa di Sulawesi Selatan. 

Ada apa di Kanreapia? 


Desa Kanreapia terletak di lereng gunung Bawakaraeng, kecamatan Tambolo Pao, di Kabupaten Gowa. Daerah ini dikenal dengan kabut dan suhu dinginnya. Saking dinginnya, desa ini dinamakan Kanreapia yang artinya makan api. Kanre: makan, dan Apia: api. Maksudnya, api dimakan pun masih tetap dingin rasanya. 

Desa ini memiliki tanah yang sangat subur. Sangat cocok untuk bertani. Dulunya masyarakat di sini hanya menanam 3 jenis tanaman pertanian saja yaitu markisa, ubi jalar dan jagung. Namun semenjak adanya Rumah Koran (2014) yang digagas oleh Jamaluddin, seorang pemuda daerah yang memilih pulang kampung setelah tamat S2, perlahan-lahan masyarakat desa mulai teredukasi dalam banyak hal terutama soal pertanian. 

Dari yang dulunya menanam markisa, ubi jalar dan jagung, masyarakat desa ini kini beralih menjadi berbudidaya sayuran. Ada setidaknya 10 komoditas utama sayuran yang dihasilkan desa Kanreapia; buncis, wortel, kol, sawi, labu siam, bunga kol, kentang, tomat, daun bawang, dan seledri. 

Dari yang dulunya bertani dengan menggunakan pupuk kimia, kini penduduk desa berangsur-angsur beralih ke sistem pertanian organik. Selain menghasilkan kualitas sayur yang lebih sehat, desa Kanreapia juga kini mampu menghasilkan sayuran segar dengan jumlah yang melimpah. Sehari panen bisa sampai 20 ton sayuran segar. Saking melimpahnya, di masa pandemi COVID-19, para petani sampai bisa menyedekahkan 50 ton sayur segar ke dapur umum Sat. Brimob Polda Sulsel. 

Aksi ini membuat desa Kanreapia dikenal sebagai Kampung Sayur dan kemudian di 2020 mendapat apresiasi sebagai Kampung Binaan Astra. 
Kampung Sayur


Kegiatan sedekah sayur ini masih terus berjalan hingga kini, menyasar panti asuhan dan pesantren di seluruh penjuru Sulsel. Yang buat aku salut adalah, gerakan yang digagas Jamaluddin melalui Rumah Koran, ternyata dilakukan dengan memanfaatkan sistem gotong royong yang ada di desa Kanreapia ini. Ia menggerakkan masyarakat desa melalui warisan budaya nenek moyang yang bahasa lokalnya di sana dikenal dengan sebutan Akkamissi.

Akkamissi adalah kegiatan gotong-royong masyarakat di Kanreapia yang di lakukan tiap hari Kamis. Jadi setiap Kamis warga punya kebiasaan berkumpul untuk melakukan suatu pekerjaan bersama-sama. Kalau di desaku gotong-royong itu (dulu ya) di hari Minggu, sedangkan di Desa Kanreapia, Kamis adalah hari gotong-royong. Rajin ya, tiap pekan gotong-royong. 

Nah, dengan kebiasaan Akkamissi yang dimiliki desanya, Jamaluddin, penerima SATU Indonesia Award 2017, berhasil menggerakkan warga desanya dalam hal pertanian berbasis ekoliterasi. Seperti dalam pertanian organik, ketika membuat pipanisasi dan sprinkler untuk sistem penyiraman, membuat lahan percontohan, memanen air hujan, membuat kompos, sedekah sayur, dan lain sebagainya, lagi-lagi diterapkan sistem Akkamissi

Begitu juga ketika bersama-sama membangun embung (tempat penampungan air) sampai desa ini punya 100 embung, sehingga Kampung Sayur mampu tetap hijau meski di musim kemarau. Petani di Kanreapia bisa dibilang bisa panen sepanjang musim. Ini semua merupakan hasil dari penerapan edukasi dan gotong-royong, Akkamissi. 
KBA Kanreapia


Dan ternyata efek dari penerapan edukasi dan gotong-royong yang digagas Rumah Koran ini tak hanya sebatas meningkatnya kesejahteraan ekonomi dan tabungan akhirat masyarakat Desa Kanreapia saja. Ada efek pelestarian lingkungan yang signifikan ternyata, sehingga di 2023, Kementerian Lingkungan Hidup pun memberikan penghargaan tertinggi pada desa ini sebagai Kampung Iklim

Tak berhenti sampai situ, keunikan dari sebuah budaya gotong-royong yang diterapkan di desa Kanreapia sehingga bisa menjaga iklim dan lingkungan di desa inilah yang kemudian dilirik oleh dunia internasional pada ajang COP28 di Dubai tahun 2023, sebuah ajang konferensi tahunan tentang perubahan iklim yang digagas oleh PBB. Jamal pun diundang sebagai narasumber pada ajang tersebut sebagai perwakilan Indonesia untuk bercerita tentang Desa Kanreapia, tentang bagaimana pertanian di sana, tentang bagaimana penerapan budaya Akkamissi di Kanreapia sehingga membuat desa itu terjaga iklim dan lingkungannya. 

Cerita tentang budaya gotong royong di Kanreapia ini mau tak mau mengingatkanku pada The Butterfly Effect, efek kepakan sayap kupu-kupu. Sepasang sayap apalah rasanya, namun ketika semua kupu-kupu di sebuah pulau serentak mengepak, tornado yang dihasilkan. 

Kini kita sampai di jaman yang tumbuh kembang generasinya semakin lebih akrab dengan berkompetisi daripada bekerja sama. Memang ada banyak hal yang lebih efektif dan menyenangkan dilakukan sendiri, sedangkan jika dilakukan bersama buat makan hati. Mungkin itu juga yang menyebabkan kita lupa atau pura-pura lupa (sehingga jadi terbiasa lupa) bahwa banyak pula hal yang jauh lebih berfaedah jika dilakukan bersama-sama. Semoga Indonesia yang dulu budaya gotong-royong dikenal sebagai identitas, tidak tinggal sekadar nama ketika bertemu generasi masa depan. 

Tulisan ini didedikasikan untuk memperingati 97 tahun Sumpah Pemuda



Sumber: 

Youtube SATU Indonesia award: Bincang Inspiratif 16th SATU Indonesia Award 2025 Manado

Youtube Rumah Koran: Kanreapia di A_Satu TVRI

Youtube Tv Tani Rumah Koran : KBA Kanreapia di Zona Tani TVRI Sebagai Kampung Sayur

https://rri.co.id/features/390438/kisah-inspiratif-jamaluddin-pencerdas-anak-petani-desa-kanreapia (diakses 20 Oktober 2025) 

rumah-koran.blogspot.com
Instagram @rumah.koran
Instagram @kbakanreapia
Instagram @tvtanirumahkoran
Instagram @kampung.sayur




Kanreapia: Desa Berkabut Yang Menyulap Sayur Jadi Harapan

Pagi itu kabut turun cukup tebal. Dingin mencubit kulit wajah. Tapi aktivitas pagi itu tetap dilakoni penduduk seperti biasa. Satu persatu terlihat mulai turun ke kebun masing-masing. Ada yang mulai memeriksa kondisi dedaunan sawi yang baru kena guyur hujan malam tadi, ada yang mulai mencangkul lahan untuk membuat lokasi pemindahan bibit, ada pula yang sudah sibuk memenuhi bakulnya dengan seledri segar yang baru ia panen. Ah, dingin sudah biasa bersahabat dengan suhu tubuh mereka di sini, Kanreapia.


Berkenalan dengan desa Kanreapia


Kanreapia adalah sebuah desa yang bertanah amat subur di bawah naungan gunung Bawakaraeng. Terletak di hamparan pegunungan dengan ketinggian kuang lebih 2000 m di atas permukaan laut. Ciri khas desa ini adalah dingin, kabut, hujan dan sayuran. Sebagai warga Sumatera Utara, aku langsung terbayang pemandangan Berastagi yang kurasa mirip situasinya alamnya. 

Kanreapia merupakan desa di kecamatan Tombolopao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Kalau dari ibu kota kabupaten, Sungguminasa, jaraknya sekitar 74 kilometer, atau kira-kira 2 setengah jam perjalanan dari Makassar. 

Pemandangan Desa Kanreapia

Selama ini Kanreapia terkenal sebagai kampung penghasil sayuran segar, karena memang 7 dusun di desa ini fokus menanam sayuran. Setidaknya ada 10 komoditas sayur yang dihasilkan; kol, sawi, tomat, daun bawang, kentang, buncis, wortel, labu siam, kembang kol, dan seledri. Tiap hari desa yang kini juga dikenal dengan sebutan Kampung Sayur ini rata-rata bisa panen lebih dari 20 ton sayur. 

Tapi ternyata dulu masyarakatnya hanya bertani 3 jenis tanaman saja, lho, yaitu markisa, jagung dan ubi jalar. 

Lalu bagaimana ceritanya kini malah sampai jadi pemasok sayuran segar terbesar se-SulSel? 


Sosok Di Balik Kampung Sayur


Transformasi Kanreapia yang sebelumnya hanya menanam 3 jenis komoditas sayuran hingga menjadi pemasok sayur terbesar di Sulawesi Selatan tak lepas dari andil seorang putra daerah bernama Jamaluddin. Setelah menyelesaikan S2-nya, walau sempat menjadi dosen, Jamal memutuskan untuk pulang kampung.

Kalau stay di kampus, banyak profesor, magister dan doktor di sana. Tapi di kampung, saya dibutuhkan kampung saya”. Begitu katanya ketika ditanya kenapa tidak melanjutkan karir di kota. 

Sudah lama Jamal membaca potensi kampung halamannya ini. Lalu ditambah panggilan hatinya untuk mengabdi karena prihatin dengan tingkat pendidikan dan literasi di desanya, Jamal dan rekan-rekannya akhirnya di 2014 membuat sebuah rumah baca bernama Rumah Koran. 

Rumah koran

Di rumah koran ini, yang awalnya bekas kandang bebek lalu dindingnya ditempeli koran, sering jadi tempat berkumpul anak-anak petani, masyarakat, petani muda dan petani tua. Dari yang awalnya hanya wadah baca tulis, berkembang dan meluas menjadi wadah edukasi masyarakat, forum diskusi pertanian, hingga ekoliterasi. Hingga pada 2017, dedikasi Jamal mendapatkan SATU Indonesia Award. 


Lewat Rumah Koran Petani Biasa Menjadi Petani Berliterasi : Sejahtera di Dunia, Sejahtera di Akhirat. 


“Rumah Koran selalu berupaya untuk mengedukasi masyarakat supaya desa ini mampu menghasilkan sayur dengan kuantitas dan kualitas yang bagus”, ujar Jamal. 

Lewat lahan contoh, kami juga memperlihatkan bagaimana supaya sebagai petani kita betul-betul menjaga mata air, bagaimana membuat pipanisasi, membuat penghijauan, hingga menerapkan pertanian organik. Tujuannya agar pertanian bisa berkelanjutan.” Sambungnya. 

Hasilnya, kini petani di Kanreapia bisa bercocok tanam dan panen di segala musim, baik di musim hujan maupun kemarau, tanpa perlu khawatir dengan sumber air. Karena ada air melimpah di 100 embung (tempat penampungan air). 

Saking melimpahnya hasil tani di Kanreapia, di era Covid-19 bahkan desa ini mampu menyedekahkan 50 ton sayur segar ke dapur umum Sat. Brimob POLDA SulSel. Aksi ini kemudian mengantarkan Kanreapia menjadi salah satu desa binaan dalam program Kampung Berseri Astra (KBA) sejak 2021.

Uniknya, sedekah sayur ini pun masih terus dijalankan hingga kini. Menyasar lebih dari 100 panti asuhan yang ada di SulSel, jumlah sedekah sayur kini telah tembus 100 ton. 

Dari petani biasa menjadi petani literasi, petani dermawan. Jadi, sejahtera di dunianya dapat, tabungan akhirat nya juga dapat.” Tukas Jamal mantap. 


Melirik Seledri Karena Literasi


Akhir-akhir ini banyak petani di Kanreapia beralih fokus ke seledri. Pasalnya dari Rumah Koran mereka belakangan jadi tahu kalau tanaman yang tumbuh subur di ketinggian 900 m dari permukan laut ini punya banyak keunggulan dibanding tanaman sayur lainnya. Seperti bisa dipanen (kembali) dalam jangka waktu singkat, mudah dan murah perawatannya, harga jual relatif tinggi, sehingga dianggap lebih efisien. 

Pembibitan 1 bulan, lalu pindah bedeng tanam. 2 bulan setelah masa tanam baru bisa dipanen. Perawatannya pupuk, jaga dari hama, lalu pakai bahan kimia sedikit supaya tidak cacat.” Ujar Hasrullah, salah satu petani seledri di Kanreapia. 

Yang pernah menanam seledri pasti paham. Beberapa tahun lalu aku juga sempat punya 30an pot seledri di rumah. Kalau untuk pemakaian sehari-hari tentunya sampai luber ya, jadi sampai bisa dijual hasil panennya. Dan dalam jangka waktu sepekan setelah dipanen, aku sudah bisa panen lagi. 

Jadi kalau petani di Kanreapia punya lahan luas yang isinya seledri semua, mereka jadi serasa bisa panen seledri tiap hari, dari lahan yang berbeda. Jadi mereka bisa mendapatkan pendapatan harian dari panen seledri. 


Kolaborasi Selalu Jadi Kunci Keberlangsungan Berdaya

Desa Kanreapia

11 tahun Rumah Koran berdiri, Jamal mengakui bahwa kebanyakan aksi yang digagas oleh Rumah Koran tak lepas dari kolaborasi dengan berbagai pihak. Baik masyarakat setempat, sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan, Kementerian Lingkungan Hidup, aparat pemerintah, mahasiswa, komunitas-komunitas terkait, panti asuhan, dan lainnya. 

Jadi kita tidak bergerak sendiri”. Tuturnya. 

Seperti dalam hal pemasaran hasil tani, Komunitas Rumah Koran mewadahi pemasaran dalam bentuk macam-macam. Diantaranya melalui program Pasar Tani yang bekerja sama dengan para pengepul sayur. 

Sayur-sayur saya kumpul dari petani, lalu dibawa ke gudang. Setelah itu disortir, baru dijual lagi. Pasar penjualan saya macam-macam, ke Enrekan, Batulincin, Samarinda, bahkan Makassar." Ujar Hamzah salah satu langganan pengepul sayur. 

Kini hasil panen Kampung Sayur sudah memasok ke 18 kecamatan di Kabupaten Goa, sampai ke ibu kota provinsi, bahkan keluar pulau Sulawesi, menembus pasar pulau Kalimantan dan Papua. Jamal berharap ke depannya sayur-sayur Kanreapia bisa go Internasional, diekspor secara global. 


Akkammisi: Kebiasaan Nenek Moyang Menjadi Kunci Menjaga Iklim dan Melestarikan Lingkungan sampai menginspirasi dunia Internasional


Penduduk Kanreapia punya tradisi nenek moyang yang hingga kini masih sering dilakukan, Akkammisi namanya. Sebuah tradisi gotong royong yang dilakukan masyarakat tiap hari Kamis. Jadi setiap Kamis, penduduk akan kumpul bersama untuk melakukan suatu aktivitas gotong royong. 

Tradisi ini kemudian diaplikasikan Rumah Koran dalam memberdayakan masyarakat menjalankan visi misi dan pilar-pilar Rumah Koran dan KBA Kanreapia; pendidikan, lingkungan, kesehatan dan kewirausahaan. Seperti ketika membangun embung pertanian, memanen air hujan, membangun pipanisasi dan sprinkler untuk sistem penyiraman, membuat lahan percontohan, menjalankan sedekah sayur, dan kegiatan lainnya. 

Tak disangka pada 2023, 2 tahun setelah dibina Astra, praktik gotong royong ini malah mengantarkan KBA Kanreapia mendapatkan predikat Kampung Iklim Berseri, sebuah penghargaan tertinggi dari Kementrian Lingkungan Hidup RI. 

Tak tanggung-tanggung, setelah itu Kanreapia juga dilirik ajang internasional pada COP28 (Conference of the Parties of the UNFCCC), pertemuan tahunan yang ke-28 Konferensi Perubahan Iklim PBB, di Dubai. Karena dianggap budaya dari Akkammisi yang diterapkan di Kanreapia ini mampu mempertahankan iklim dan lingkungan di desa itu. 

Wah, seberdampak itu ya. Dari hal yang tampaknya sepele, jadi inspirasi dunia. 

Maka kini Desa Kanreapia punya 3 identitas, yaitu KBA, Kampung Iklim, dan Kampung Sayur

Ensia award

Terakhir di tahun 2025 ini, Jamaluddin sebagai local hero inspiratif meraih penghargaan Environmental Sustainability Innovation Award (ENSIA). Ini karena inovasinya dalam menjaga lingkungan melalui gerakan literasi hijaunya yang mampu menggerakkan partisipasi masyarakat Desa Kanreapia. 


Dari Kampung Sayur Merambah ke Ekowisata, Kapan Waktu Terbaik Berkunjung ke Kanreapia? 


Inspirasi dari Kampung Sayur tentunya mengundang kekaguman dan rasa ingin tahu bagi siapa saja yang mendengar. Berbagai studi banding dari luar daerah, provinsi, dan dari luar pulau se-Indonesia pun banyak berdatangan. Membuka peluang potensi baru bagi Kanreapia sebagai destinasi ekowisata bertema wisata edukasi. 

Pengunjung melihat langsung proses pertanian yang dilakukan di Kampung Sayur ini. Mulai dari pembibitan, penanaman, pemeliharaan, hingga pemanenan. Kita bisa berdiskusi sepuasnya dengan para petani di lapangan.

Bayangkan, berkemah di antara kebun-kebun sayur. Bangun pagi keluar tenda disambut dengan udara dingin dan hamparan hijau sayuran seluas mata memandang yang berselimut kabut. Kita bisa petik sendiri sayuran organik sepuasnya, kemudian langsung kita masak untuk sarapan pagi itu. Wah, bagiku itu sungguh pengalaman yang tak terlupakan dan pasti bakal dirindukan. 

Bulan Maret sampai sebelum musim penghujan.”

Jawab Jamal ketika ditanya kapan waktu terbaik berkunjung ke Kanreapia.

Suhu normal di Kanreapia di bawah 16 derajat Celcius.

Ciri khasnya Kanreapia itu dingin, kabut, hujan dan sayuran. Jadi kalau ke sana wajib bawa jaket”. Ungkapnya sambil tersenyum.


Tantangan dan Tekad


Selama 11 tahun bersama Rumah Koran, dan 4 tahun menjadi desa binaan Astra, meski telah banyak perubahan, inovasi dan inspirasi yang dilahirkan di Kanreapia, desa ini merasa masih tetap perlu terus berbenah, terutama dalam hal melengkapi fasilitas-fasilitas pendukung untuk menciptakan desa Kanreapia yang berdaya dan berdaya saing. Terutama dalam hal wisata edukasi, seperti infrastruktur dan penunjang lainnya. 

Dalam hal pemasaran hasil panen, harapan kedepannya Desa Kanreapia bisa memaksimalkan pemasaran secara online supaya bisa menjangkau pasar lebih luas lagi hingga dikenal secara global. 

Kanreapia bertekad menjadi sentra penghasil sayuran untuk mencukupi kehidupan pangan, meningkatkan taraf hidup, dan menunjang roda ekonomi masyarakat Desa Kanreapia.” Ujar Jamal mantap. 


Harapan yang Tumbuh Dari Balik Kabut


Menjelang senja, perlahan kabut kembali turun, menyelimuti ladang-ladang hijau di lereng gunung. Para petani berjalan pulang sambil membawa keranjang penuh hasil panen. Di balik kesederhanaan itu, tersimpan kisah luar biasa tentang perubahan yang tumbuh dari koran-koran yang ditempel di dinding bekas kandang bebek, dari literasi di tanah yang subur, dari niat melestarikan budaya nenek moyang, juga dari semangat kolaborasi berkesinambungan. 

Kanreapia kini bukan sekadar kampung penghasil sayur. Ia adalah simbol inspirasi dan harapan; bahwa ketika masyarakat, swasta, dan pemerintah bersama menyatukan gerak, bahkan kampung dari balik kabut pun bisa menyulap sayur menjadi masa depan yang cerah. 



Sumber: 

Youtube SATU Indonesia award: Bincang Inspiratif 16th SATU Indonesia Award 2025 Manado

Youtube Rumah Koran: Kanreapia di A_Satu TVRI

Youtube Tv Tani Rumah Koran : KBA Kanreapia di Zona Tani TVRI Sebagai Kampung Sayur

https://sulsel.idntimes.com/news/sulawesi-selatan/kampung-sayur-kanreapia-semakin-berdaya-berkat-pasar-tani-00-5qckx-bnw29b (diakses 19 Oktober 2025)
 
rumah-koran.blogspot.com
Instagram @rumah.koran
Instagram @kbakanreapia
Instagram @tvtanirumahkoran
Instagram @kampung.sayur

Kisah Pendiri 12 PAUD di Pesisir Serdang Bedagai

"Masa Kecil yang Tak Sejahtera, Biarlah Hanya Saya yang Mengalami Kesulitan Itu"

Berawal dari keprihatinannya akan rendahnya tingkat pendidikan di desa-desa pesisir di Kecamatan Teluk Mengkudu membuatnya tergerak untuk memberdayakan masyarakat daerah tersebut sejak 1998. Walau tinggal di kecamatan berbeda; Pegajahan, Rusmawati sejatinya adalah warga Serdang Bedagai, Sumatera Utara. 

Sumber: kumparan.com

Sekitar tahun 1998, Sebagai Staff Lapangan Yayasan Harapan Desa Sukasari (Hapsari), sebuah LSM yang fokus pada pemberdayaan perempuan di Kabupaten Deli serdang, Rusmawati kerap berkeliling ke kawasan pesisir di Desa Pekan Sialang Buah, Kecamatan Teluk Mengkudu.

Selama beberapa kali kunjungannya di Teluk Mengkudu, Ia mendapati pemandangan yang sangat memprihatinkan. Masyarakat di kawasan pesisir Teluk Mengkudu ini hidup dalam kebiasaan ala kadarnya. Jika sudah bisa makan dua atau tiga kali sehari dan bisa membelikan jajanan untuk anak-anak mereka, maka mayoritas warga yang merupakan nelayan ini sudah merasa cukup dengan kehidupannya.

Mereka tidak menganggap perlu untuk memfasilitasi anak-anak apalagi balita-balita mereka dengan pendidikan yang layak. Padahal anak-anaknya sudah masuk usia sekolah.

Kemudian Rusmawati mengajak sejumlah perempuan di Desa Pekan Sialang Buah untuk berdiskusi. Dari mereka, Ia justru mendapatkan fakta-fakta yang malah makin memprihatinkan.

Nyatanya banyak perempuan yang sudah berkeluarga tapi tidak tamat SD apalagi SMP. Lalu pekerjaan suaminya serta aktivitas melaut lainnya tidak memberikan kenyamanan karena mereka harus berhadapan dengan pukat harimau. Sementara tak ada perlindungan dan pembelaan dari pemerintah. Ada lagi para perempuan yang suaminya tewas di laut.

Kesemua itu telah menjadi beban tersendiri bagi perempuan di desa-desa pesisir ini. Mereka tak lagi memikirkan pendidikan anak-anak mereka. Apalagi para janda, fokusnya hanya untuk mencari nafkah sehari-hari yang jumlahnya jauh dari kata layak.

Akhirnya, anak-anak mereka terabaikan, apalagi pendidikannya. Anak-anak tidak paham memilih jajanan sehat. Bermain di area kumuh. Bahkan ketika makanannya jatuh ke tanah, mereka dengan santai masih mengutip lalu memankannya.

Ada pula para ibu yang juga terlibat dalam menambah penghasilan keluarga. sambil membawa serta anaknya mencari kerang di tepi laut sehingga anak tersebut kehilangan masa kanak-kanaknya tanpa bermain dan bersosialisasi dengan teman sebaya.

Rusmawati memutar otak, mencari cara untuk memajukan pendidikan masyarakat di Desa Pekan Sialang Buah, khususnya bagi anak-anak. Ia bertekad bahwa anak-anak Desa Pekan Sialang Buah yang sudah berada di usia sekolah harus masuk sekolah. Mereka harus belajar, bermain, dan bergembira dengan anak-anak seusia mereka.

Rusmawati ingat masa kecilnya yang sangat membekas. Karena kondisi ekonomi keluarganya yang juga tak sejahtera, sejak kecil ia harus membantu orangtuanya mencari sayur dan ikan di sawah.

“Saya berpikir, biarlah hanya saya yang mengalami kesulitan itu. Anak-anak zaman sekarang harus terfasilitasi dengan baik kebutuhan belajar dan bermainnya. Jangan seperti saya saat masih kecil dulu,” ujar perempuan kelahiran Desa Bingkat, 2 Februari 1976 itu.


Aksi Pun Dimulai


Di Desa Pekan Sialang Buah, Rusmawati mengajak tujuh perempuan desa yang sepemahaman dengannya; bahwa anak-anak usia dini Desa Pekan Sialang Buah harus difasilitasi pendidikannya.

Dia pun mengajak ketujuh perempuan itu untuk meyakinkan perempuan lainnya di desa tersebut untuk peduli terhadap pendidikan anak-anaknya. Namun sangatlah banyak yang menolak dengan alasan, "Sudah susah, janganlah dibuat susah lagi".

Banyaknya penolakan akhirnya membuat 4 dari 7 perempuan teman diskusinya tadi mundur. Tinggallah Rusmawati dan 3 teman diskusinya yang masih berkomitmen.

"Saya tidak membuat susah. Yakinlah, suatu saat nanti, kalian akan mencari saya”. Tegas Rusmawati kepada mereka yang menolak kala itu.

Namun, sesampainya di rumah Ia menangis. Perasaannya hancur ketika niat baik dan tulusnya tidak mendapat sambutan baik. Namun begitu tak menyurutkan niatnya. Malah tertantang untuk segera mendirikan Sanggar Belajar Anak.

Tahun 2002, Rusmawati dan ketiga rekannya yang tergabung dalam Serikat Petani Pesisir dan Nelayan (SPPN) Serdang Bedagai ini mendirikan Sanggar Belajar Anak yang namanya disepakati menjadi SBA Melati. Mereka tidak menggunakan nama TK karena terkesan sekolah mahal dan tak mungkin mereka bangun. Saat itu mereka hanya berpikir ada tempat bagi anak-anak untuk belajar, bermain, dan bernyanyi.


Muncul Kendala Berikutnya; Gedung Tempat Belajar


Rusmawati meyakinkan 3 rekannya untuk mengadospi semangat Ki Hajar Dewantara; “Setiap tempat adalah sekolah, dan setiap orang adalah guru”. Dengan berprinsip tak perlu bangun gedung, akhirnya atas izin pengelola musala, digunakanlah teras musala sebagai tempat untuk belajar dan bermain.

Ketika pemberitahuan disampaikan ke warga, ternyata disambut cukup baik. Perkiraan hanya 10, ternyata sampai 25 anak yang hadir.

Rusmawati merasa tak sanggup mengajar 25 anak sendirian. Ia pun mengajak Ema Salmah (43), salah seorang dari 3 rekannya. Awalnya Ema menolak karena tak mampu dan tak lulus SD. Namun setelah terus diyakinkan oleh Rusmawati dan memintanya untuk mengobservasi caranya mengajar, Ema akhirnya menyanggupi. Lama-kelamaan, Ema pun berani tampil tanpa perlu didampingi lagi.

Dalam setahun jumlah siswa semakin banyak, dan tempat di teras musala tak lagi kondusif. Rusmawati kembali memutar otak. Posisinya sebagai Pengurus Badan Amil Zakat memberikannya ide baru. Ia mengajak warga Desa Pekan Sialang Buah yang peduli dengan keberadaan SBA Melati agar mau bersedekah dan berzakat untuk membangun gedung belajar SBA Melati.

Usahanya mendapat sambutan cukup baik. Terkumpullah sekitar 2.9 juta saat itu. Lalu dimusyawarahkan dengan para ibu murid SBA Melati. Ternyata untuk membangun gedung sederhana butuh setidaknya 5 jutaan. Kekurangan dana ini akhirnya tertutupi oleh sumbangan barang dari warga.

Akhirnya gedung SBA Melati dibangun di atas tanah milik seorang warga Desa Pekan Sialang Buah, Murni namanya. Persis di samping rumahnya. Gedung belajar dibangun sederhana. Lantai semen, atap rumbia, dinding bagian bawah beton dan sisanya tepas. Gedung beruangan tunggal itu berukuran 4x6 meter persegi.

Pembangunan gedung berlangsung sepekan. Masyarakat bergotong royong mendirikan gedung. Semua biaya dan barang merupakan sumbangan warga Desa Pekan Sialang Buah. Rusmawati terharu dengan sambutan baik masyarakat yang tak disangkanya itu.

Hingga kini gedung SBA Melati masih berada di lokasi sama. Beberapa kali dirombak, terutama dinding tepasnya karena rusak terkena hujan dan panas. Tanah yang semula statusnya pinjaman kini telah berganti menjadi sewa. Uang sewanya digunakan untuk membantu kebutuhan sehari-hari Bu Murni yang kesehatannya kurang baik beberapa tahun setelah pembangunan.

Dan sampai saat ini, Rusmawati dan rekan-rekannya tetap rutin menggalang donasi dari masyarakat untuk biaya sewa dan kebutuhan SBA Melati.


Dari Satu SBA Menjadi Tunas-tunas SBA


Cerita sukses Rusmawati membangun dan menjalankan SBA Melati di Desa Pekan Sialang Buah ini pun sampai ke desa-desa pesisir lain di Kecamatan Teluk Mengkudu.

Memanfaatkan momen, Rusmawati pun mendirikan 6 SBA di empat desa lainnya (yang juga tingkat pendidikannya masih rendah) sepanjang tahun 2004-2011. Adalah SBA As-Syakirin di Desa Sialang Buah, SBA Ar-Rahim dan SBA As-Syiddiq di Desa Pematang Kuala, SBA Pasir Putih dan SBA Al-Fahmi di Desa Bogak Besar dan SBA Ar-Rahman di Desa Sentang.

Tak hanya di Kecamatan Teluk Mengkudu, Rusmawati pun merambah ke kecamatan-kecamatan lain. Sepanjang tahun 2006 hingga 2012, Rusmawati membuka 5 SBA di empat desa lain di tiga kecamatan.

3 SBA di Kecamatan Pegajahan yakni 2 SBA di Desa Karang Anyar yakni SBA As-Syiddiq dan SBA Abah dan 1 SBA di Desa Petuaran Hilir yakni SBA Melati.

1 SBA di Kecamatan Tanjung Beringin yakni SBA Ar-Rahman di Desa Pekan Tanjung Beringin.

Dan 1 SBA di Kecamatan Pantai Cermin yakni SBA Mekar Hidayah di Desa Kotapari.

Konsep yang digunakan Rusmawati di delapan desa ini sama dengan di Desa Pekan Sialang Buah. Mengajak perempuan-perempuan desa berdiskusi dan mencari solusi masalah pendidikan. Mengajak para perempuan menjadi guru SBA. Mengajak warga dan wali murid berdiskusi perihal lahan dan pembangunan gedung SBA. Intinya adalah menggerakkan masyarakat untuk berdiskusi, bergotong-royong, serta memberikan sumbangan dan zakat untuk pembangunan dan keberlangsungan hidup SBA di desa mereka.

Sedangkan untuk membayar gaji guru SBA dananya berasal dari iuran bulan siswa. Besarnya bervariasi sesuai kemampuan orangtuanya dan hasil diskusi bersama wali murid. Ada yang 20 ribu, ada yang 15 ribu, ada pula yang membayar dengan pisang hasil panen.


Dianggap Lembaga Pendidikan Ilegal


Tantangan baru yang dihadapi Rusmawati dalam membuka 12 SBA di 4 kecamatan di Kabupaten Serdang Bedagai adalah ketika perangkat pemerintahan di dusun-dusun tidak mengakui SBA-SBA bentukan Rusmawati sebagai lembaga pendidikan yang sah alias ilegal.

Disebut ilegal karena tidak memiliki izin dan tidak sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang disahkan oleh DPR.

UU ini salah satunya mengatur sistem dan izin pendirian lembaga pendidikan untuk anak-anak usia dini seperti Kelompok Bermain (KB), Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Taman Kanak-kanak (TK).

Rusmawati mengakui jika SBA yang ia dirikan tidak memiliki izin. Namun ia tak menerima disalahkan. Karena ketika ia mendirikan SBA, belum ada UU yang mengatur saat itu.
Lagi pula di akhir 2003, beberapa bulan setelah UU Sisdiknas disahkan, 8 Juli 2003, Rusmawati telah mengunjungi Dinas Pendidikan Serdang Berdagai untuk berkoordinasi mengenai perlu adanya kebijakan tentang SBA yang ia telah ia bangun.

Namun penjelasannya tidak cukup meyakinkan pejabat yang bersangkutan. Tetap saja apa yang ia kerjakan dianggap ilegal. Karena tidak ada solusi, ia pun pulang.

Kampanye bahwa SBA yang didirikan Rusmawati adalah tindakan ilegal bahkan sampai membuat ada guru yang tak mau mengajar, sehingga program SBA jadi terganggu.

Namun Rusmawati tak patah semangat. Temannya menyarankan untuk menemui pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Serdang Bedagai lainnya yakni Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Berharap ada kebijakan dari sang pejabat.

Di tahun 2004, ketika menggelar pertemuan akbar siswa, orangtua dan masyarakat yang terlibat dalam program-program SBA, Rusmawati mengundang sang Kepala Bidang serta para Kepala Dusun yang selama ini menyebut SBA ilegal.

Di kesempatan itu sang kepala bidang juga langsung mendengarkan bahwa masyarakat tidak ingin SBA-SBA yang sudah ada ini dibubarkan. Akhirnya solusi dari mereka adalah mereka meminta agar program-program SBA tetap dijalankan karena pihak Dinas sudah mengetahuinya.

Sejak tahun 2007, agar program berjalan dengan baik dan warga SBA juga dapat belajar dan mengajar dengan nyaman, Rusmawati pun mengurus izin SBA-SBA yang sudah berdiri. Ia mencatat, hingga tahun 2007 ada delapan SBA yang berdiri.

Karena UU Sisdiknas tidak mengatur keberadaan SBA untuk pendidikan anak usia dini dan hanya mengatur nama PAUD dan KB, maka mau tidak mau, Rusmawati pun mengganti nama delapan SBA yang telah berdiri dari SBA menjadi Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal Kelompok Bermain (PAUD KB).

Sumber: Tribun-Medan

Setelah keberadaan UU Sisdiknas semakin diketahui publik, maka mulailah bermunculan PAUD-PAUD di desa-desa pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai. Rusmawati mengingat, tahun 2009 menjadi awal berdirinya banyak PAUD.


PAUD KB, Pintu Masuk Pemberdayaan Masyarakat


Pendirian PAUD KB diakui Rusmawati sebagai pintu masuk untuk menebar jaring pemberdayaan lebih besar kepada warga pesisir. Setiap dibukanya 1 PAUD KB, otomatis terbentuk 1 kelompok yang berisi ibu-ibu murid yang bersekolah di PAUD KB.

Rusmawati rutin tiap bulan melakukan pertemuan dengan kelompok perempuan ini. Materi-materi di pertemuan beragam dan kaya manfaat. Berisi diskusi-diskusi seputar perempuan dan rumah tangga, sosial dan budaya, dan penguatan ekonomi keluarga dan kewirausahaan.

Selain materi-materi di atas, pada pertemuan rutin, Rusmawati juga mendorong warga untuk merehabilitasi lingkungan tempat tinggal mereka seperti yang ia lakukan di Desa Bogak Besar. Rusmawati melihat bahwa rumah warga di Desa Bogak Besar rentan ambruk terkena angin besar dan ombak laut. Rusmawati pun mengajak warga Bogak Besar untuk menanam pohon mangromangrove. Di 2014, sekitar 10 ribu pohon mangrove ditanam.

Di lain sisi, terbuka lagi pintu pemberdayaan masyarakat melalui PAUD KB, yaitu puluhan warga pesisir yang menjadi guru PAUD KB.

Karena syarat untuk mengajar PAUD KB minimal tamat SMA sederajat (saat itu 2012), sedangkan banyak guru PAUD KB yang hanya tamatan SD, Rusmawati mendorong dan memfasilitasi para guru PAUD KB untuk mengambil kejar paket B (setara SMP) dan kejar paket C (setara SMA).

Hasilnya semua guru di 12 PAUD KB telah meyelesaikan kejar paket B dan C. Bahkan sejak 2012 hingga Desember 2020, ada 7 guru yang melanjut ke Universitas Terbuka jurusan Guru PAUD. 3 diantaranya telah menyelesaikan sarjananya. Sementara Rusmawati sendiri akhirnya mewujudkan mimpi menamatkan perkuliahannya di 2013 dari Perguruan Tinggi Agama Islam.

Yang makin membuat Rusmawati bangga adalah Ema Salmah. Perempuan dari Desa Pekan Sialang Buah yang sejak tahun 1998 ikut membantunya membuka PAUD KB Melati diangkat menjadi Kepala Urusan (Kaur) Umum Desa Pekan Sialang Buah ketika sudah tamat Kejar Paket C.


Meraih Penghargaan SATU Indonesia Award


Di tahun 2011, usaha pemberdayaan yang dilakukan Rusmawati sejak 1998 berbuah manis. Astra melalui program Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards memberikan penghargaan kepada Rusmawati pada kategori Pendidikan. Program SBA (PAUD KB) yang ia dirikan di empat kecamatan di Kabupaten Serdang Bedagai ini menghantarkan Rusmawati pada penghargaan tersebut.

Dari penghargaan ini dia mendapat uang tunai Rp 50 juta yang diantaranya ia manfaatkan untuk memfasilitasi kejar paket B dan C bagi para guru PAUD KB yang saat itu belum lulus SMP dan SMA.

"Jujur. Motivasi saya mendirikan PAUD KB bukanlah untuk mendapatkan penghargaan. Tetapi ketika saya mendapatkan penghargaan ini, maka saya menjadikannya sebagai motivasi untuk berkarya lebih baik lagi dalam memberdayakan masyarakat di desa-desa pesisir di kabupaten Serdang Bedagai" Ujarnya.


Semooga semangat yang ditebarkan Rusmawati ini memberikan pencerahan pada anak-anak bangsa untuk kemudian mulai peka dengan sekelilingnya. Dimulai dari hal kecil. Let's start now


Sebuah rasa peduli yang diwujudkan dengan aksi. Dieksekusi dengan hati dan empati. Meski dicerca dan tak dipeduli, namun perjuangan tiada henti. Memupuk harapan, membangun mimpi. Suatu saat pasti berarti. Terima kasih telah menginspirasi, wahai Rusmawati. 


Tulisan ini diikutsertakan pada Anugerah Pewarta Astra 2023


Sumber: 

Tribun Medan

Kumparan.com

Kompasiana