Showing posts with label Book Review. Show all posts

Hamka Di Mata Sang Anak Kelima

“Ada 3 syarat yang harus dimiliki oleh orang yang suka berbohong. Pertama, orang itu harus memiliki mental baja, berani, tegas, dan tidak ragu-ragu untuk berbohong. Kedua, tidak pelupa akan kebohongannya. Ketiga, harus menyiapkan bahan-bahan perkataan bohong untuk melindungi kebenaran bohongnya yang pertama.”

Kutipan dari hal. 11 di atas adalah nasihat bagi pembohong, salah satu dari 3 Nasihat Buya Hamka yang di pilih Irfan Hamka untuk membuka kisah-kisahnya dengan sang Ayah, Buya Hamka.

Irfan Hamka, anak kelima Buya Hamka, di usianya yang ke 70 tahun bermaksud menerbitkan kembali sebuah buku yang sebelumnya diterbitkan oleh UHAMKA PRESS dengan judul “Kisah-kisah Abadi Bersama Ayahku”. Beliau kemudian menyampaikan niatnya ke penerbit Republika.

Gayung bersambut. Dengan beberapa penyesuaian, seperti gaya bahasa, pendalaman, dan fokus, novel ini akhirnya di beri judul “Ayah...” dengan desain wajah Buya Hamka dipilih sebagai cover buku.

Dalam buku ini, Irfan menyuguhkan para pembaca sisi lain dari Buya Hamka yang mungkin hanya diketahui oleh anggota keluarga saja. Pembaca akan diajak untuk mengenal lebih dekat sosok pribadi Buya Hamka melalui sudut pandang anaknya.

Irfan Hamka membuka ceritanya dengan mengajak pembaca bernostalgia dengan sosok Buya Hamka melaluli 3 nasihat Buya Hamka; nasihat bagi rumah tangga, nasihat bagi tetanga, dan nasihat untuk pembohong. Nasihat-nasihat ini beliau pilih karena dianggap sejak dulu hingga kini pun masih relevan untuk diterapkan dalam kehidupan.

Cerita dimulai dengan masa kecilnya bersama Buya, Ummi, dan saudara-saudara kandungnya. Rentetan pengalaman masa kecil Irfan, seperti kisah ayahnya yang seorang pejuang, hingga ada masa-masa di mana mereka sekeluarga harus mengungsi dengan berjalan kaki keluar-masuk hutan, pengalamannya dan adiknya, Aliyah, yang terbawa kereta api dari Bukit Tinggi hingga ke Koto Baru yang membuat panik Ummi dan amarah abang-abangnya, Dibawa pindah ke Jakarta dan tinggal di lingkungan yang berpenduduk majemuk, hingga pindah ke rumah yang sekarang di Kebayoran Baru.

Diceritakan pula bagaimana Buya Hamka mengajari anak-anaknya mengaji, menghidupkan masjid Agung (yang saat itu belum selesai dibagun) di depan rumah bersama anak-anaknya tiap Magrib, Isya dan Subuh. Lalu ada juga bagian Buya menurunkan ilmu silat Maninjaunya pada Irfan yang di kemudian hari baru terbukti keampuhannya saat Irfan menjadi Mahasiswa di masa keruntuhan Orde Lama.

Cerita berlanjut tentang dokumentasi kisah Buya Hamka berdamai dengan Inyyiak Batungkek atau Kakek Bertongkat, sebutan yang disematkan Irfan dan keluarganya untuk menyebut jin yang mendiami rumah mereka, yang tak pernah main-main.

Di bagian selanjutnya dikisahkan perjalanan naik haji Irfan bersama Buya dan Ummi dengan kapal laut Mae Alberto ditahun 1968, yang disusul dengan pengalaman perjalanan memenuhi undangan Duta Besar Indonesia dari negara-negara sekitar Jazirah Arab, yang kemudian menjadi perjalanan yang sangat mendebarkan, menguras energi sekaligus ujian terhadap kedekatan mereka dengan Sang Khalik.

Kisah perjalanan maut ini lalu diceritakan di bagian tersendiri, seperti perjalanan darat Bagdad-Mekkah (untuk mengejar kapal Mae Alberto pulang ke Indonesia) dengan mobil sepanjang 6000 km, saat-saat  melawan gulungan topan di padang pasir yang tiada habisnya, dilanjutkan perjalanan menuju Basra dengan sopir yang tertidur, hingga dikejar air bah di perjalanan menuju Mekkah.

Di bagian tujuh, Irfan menuturkan tentang sosok Ummi yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan Buya Hamka, sebagai pendamping hidup Buya, sebagai ibu bagi anak-anaknya, sebagai bagian masyarakat yang sangat cinta silaturahim, dan prinsip hidup Ummi ketika Buya ditahan.

Ada pula bagian yang menceritakan kisah si Kuning, kucing kesayangan Buya Hamka yang sangat setia hingga akhir hayatnya.

Buku biografi Buya Hamka yang sarat inspirasi ini bersih dari cacat Ejaan Bahasa Indonesia (EBI). Dilengkapi dengan silsilah dua keluarga besar Buya Hamka, foto kenangan, dan juga pengantar dari Dr. Taufiq Ismail.

Akhir kata, selamat membaca, selamat berkenalan dengan Buya Hamka melalui mata anak kelimanya, dan selamat meneguk makna.
Cover Buku AYah
Cover Buku "Ayah..."

Judul               : Ayah...
Penulis            : Irfan Hamka
Penerbit           : Republika Penerbit
Cetakan           : XIII, Februari 2017 
Tebal               : 323 hal. + xxviii

Resensi ini merpakan bentuk respon dari postingan Mbak Puji Widyati  dengan judul Penyihir-Penyihir di Mataku pada #KEBloggingCollab untuk kelompok Liliana Natsir .

Me and Catatan Matluthfi

My first impression when deciding to borrow this book was that I was worried that it’d be hard to understand the meaning since the language used would be half or more in Malay not Indonesian. I assumed that the English articles would be much more understandable than the Malay ones. Still I made up my mind to read it.  And that impression and assumption turned out right.

However, it was fun. Along the time, I feel I could hear the voice of Matluthfi speaking in his unique dialect while I was reading. I guessed it was because I had seen some videos of his before.

The copywriting and jokes were totally healthy and enlightening for my soul. I often wondered how he could write such thoughts of his in such age.

I can see why Ririn fell for him so much. Yet, I still could not imagine that the news of Matluthfi finally got married broke her heart so badly. LOL

By the way, I believe that it was her mother that made Matluthfi what he was and is now. Just like his many times unbelievable-but-turned-out-smart way of thinking and his creative ways of joking. Instead of being a fan of him, I am officially starting to be a fan of his mother now, I guess. :D It was mention almost at the last part that his mother had just learned how to send picture via Whatsapp, I wonder if after that she learned how to sign up in Instagram too. I'd be glad to follow. Hehe.

Yesterday, I read the part about his reading habit. There he wrote about how he read “Spiritual Journey” (the title of the book) for days. And then he dreamed about meeting Prof. Tariq, the writer. And he said to the professor, as I quote from page 138:

“You teach me if an apple is bad, let’s not talk much on the fruit or the state that is, but rather the things that make it so. It might be the wind, the animals that touch it, the soil, the insufficient nutrients. You teach me, that bad apples will eventually fall back to the ground. And let’s work together to make sure the trees that they’ll grow up to be, are protected from the excessive wind, harmful animals, grow on the soil, get sufficient nutrients and produce better generation of new apples.”

And after that the professor smiled at him. Getting that kind of feedback, in his own dream, Matluthfi said to himself, “Had I gone mad?”

I was reading this part yesterday afternoon while lying down on my bed. I wasn’t sure how many pages had passed after this part before I fell asleep. I had a dream. In my dream, I met Matluthfi. Standing next to him was Ririn. I clearly saw her there. She was clinging onto Matluthfi’s left arm.

While looking at me with her bright smile, Ririn said, “Suamiku”.

 I giggled and said, “I must be dreaming”.

Any way thanks a million for letting me have your so-called husband (euuh). I treated “him” with all my heart. I am looking forward to bartering for the second book. My most precious one with yours. :D

Distilasi Alkena: Menikmati Manisnya Patah hati

Saya tak akan menyebut ini sebagai resensi karena resensi bentuknya tak begini. Sebut saja apa saja yang kamu rasa mewakili. Tapi jika akhirnya kamu tetap memilih kata resensi, sekali lagi saya tak menyebut ini resensi.:D

Kamu pernah patah hati? Saya sering :D. Tenang. Walaupun saya tak sebut ini resensi, ini juga bukan tentang curhatan patah hati saya kok.

Patah hati berjuta rasanya. Tidak setuju? Atau rasanya hanya ada satu? Yaitu pahit, atau sakit sakit? Itu saja sudah dua.
Sumber: Google
Lalu percayakah kamu jika saya katakan patah hati itu juga bisa berasa manis? Apalagi jika rasa manis itu hadir ketika menikmati kisah patah hati orang lain? Ah, jangan-jangan saya punya bakat psikopat.

Well, setidaknya itulah sensasi yang saya rasakan ketika melahap anak pertama dari seorang Wira Nagara. Ia menyajikan kisah patah hatinya untuk dinikmati dengan nuansa manis lewat Distilasi Alkena. Saking manisnya, setelah membaca hampir sepertiga bagian buku ini, saya baru sadar jika sedang dan sudah terjebak dalam kisah patah hati yang parah.

Padahal saya adalah jenis manusia yang paling anti membaca apalagi sampai menikmati sesuatu yang saya ketahui beraroma galau apalagi penuh kegalauan, sampai saya bertemu dengan Distilasi Alkena. Terima kasih telah menjebakku Wira Nagara.

Jika kamu adalah seorang science geek seperti saya, kamu mungkin akan langsung merasakan ketertarikan pada judul buku ini. Lalu kemudian mulai terbawa arus penasaran karena terpikat tag line di bawah judulnya “Denganmu, jatuh cinta adalah patah hati paling sengaja”.

Awalnya saya pikir ini adalah novel biasa, ternyata tidak selepas membaca beberapa halamannya. Bagi saya yang tak pernah bisa tahan berlama-lama dengan bacaan bergenre prosa, melahap habis novel ini adalah sesuatu yang di luar kebiasaan. Baik dari segi genre tulisan maupun tema. That’s why I said that I was trapped.

Prosa-prosa dalam buku ini konon telah ditulis oleh Wira sejak 2012. Ungkapan perasaan yang ditulis atas dasar kecewa, penyesalan, dan juga keikhlasan tentang wanita yang pernah mendiami kamar-kamar di dalam hatinya. Wanita yang memilih lelaki lain dan bukan dirinya, sedang ia tetap mencintainya karena baginya menemukan cinta yang lain adalah hal yang mustahil. Maka mau tak mau patah hati menjadi sumber kehidupan baginya. Patah hati yang ia rawat dengan sepenuh hati. Apa tidak lelah?

Saya penasaran, apakah akhirnya si tokoh akan mati karena terlalu lelah merawat patah hatinya agar tetap patah? Atau apakah bertambah satu lagi daftar orang gila di dunia? Ataukah ia memutuskan untuk move on namun mati sebelum sempat menemukan cinta yang baru? Atau...? Begitu banyak pertanyaan yang mengiringi sel abu-abu ini sembari melahap jalinan aksara berbalut indahnya metafora. Kadang sampai berdenyut kepala mencerna makna dalam bahasanya. (Salah satu alasan kenapa saya lebih tahan bercengkrama lama-lama dengan aljabar, tapi tak bisa terlalu lama akrab dengan prosa)

Keunikan lain bagi saya dari kumpulan prosa patah hati ini adalah bahwa tiap judulnya terdiri dari dua kata antah-berantah (kata mereka yang kurang familiar dengan istilah kimia, biologi dan teman-temannya). Tiap judul merupakan analogi yang mewakili perasaan yang ingin disampaikan Wira dalam tulisannya. Saran saya, jika tidak mengerti salah satu atau kedua kata pada judulnya, baiknya baca terlebih dahulu definisi yang disediakan di tiap bagian akhir tulisan. Dengan begitu, mudah-mudahan rasa yang ingin disampaian akan tersampaiakan dengan sempurna.

Distilasi Alkena sendiri diartikan Wira sebagai sebuah proses memisahkan dua hati yang pada dasarnya tak bisa dipisahkan karena satu ikatan perasaan.

FYI, novel setebal 138 hasil ramuan komika yang mulai dikenal pada Stand Up Comedi Indonesia season 5 (SUCI 5) ini telah lulus sensor EYD. Jadi enak dibaca dan bebas typografi.

Begitulah kisah saya dengan Distilasi Alkena. Tertarik sejak pertama memandang judulnya, lalu tergelitik karena tag line-nya, ilustrasi cover adalah katalis ketiga pemicu endorfin, lalu jalinan aksara di sepanjang halamannya adalah zat adiktif yang membuat saya terus menulusuri tiap diksi tanpa sanggup berpaling. Saat sadar ternyata telah terperangkap dalam labirin metafora, terlalu terlambat untuk kembali dan terlalu sayang untuk diabaikan. Hingga akhirnya tiba pada akhir halaman.

Semoga ketika tiba di akhir halaman buku ini, kita tidak termasuk kategori manusia dengan potensi psikopat karena berhasil menikmati rasa manis dari suatu tragedi bernama patah hati. Maka, selamat membaca dan selamat menikmati manisnya patah hati.
 

Jalan-Jalan ke Pesantren Robbani Lewat Negeri Para Bintang

Tahukah kamu kalau di Medan ada pondok pesantren yang bernama Robbani? Atau hanya saya yang terlalu kudet hingga baru tahu keberadaannya setelah baca novel Negeri Para Bintang ini? Konon, dari Amplas ke lokasi bisa diakses dengan angkot 97. Begitu keterangan yang saya dapatkan di novel ini. :D

Jujur, banyak sekali hal-hal yang baru saya ketahui karena baca novel setebal 195 halaman ini. Salah tiga diantaranya adalah keberadaan ponpes Robbani, angkot 97 (sebagai angkoters yang telah malang melintang di dunia perangkotan kota Medan, setahu saya adanya M 97 :D), dan preman Amplas yang menjunjung tinggi solidaritas kampung halaman ketika memalak korbannya. Mengenai kisah preman amplas ini bisa ditemukan mulai dari halaman 166.
Form Lingkar Pena
Negeri Para Bintang
 Mengangkat lokalitas kehidupan pesantren dipadukan dengan esensi alam dan kehidupan masyarakat Siantar, Penulis, Abdillah Putra Siregar, mencoba untuk mendekatkan pembaca dengan kehidupan Rumi, putra kelahiran Siantar yang “dipaksa” menjalani kehidupan pesantren oleh ayahnya begitu lulus SMP.

Saya sangat sebal dengan karakter Rumi yang selalu mengambinghitamkan otaknya yang selalu sakit kala belajar lama-lama, hingga ia lebih mewajarkan untuk tidak belajar saja. Selalu saja cari alasan yang mengatasnamakan ketidakmampuannya atau keterbatasan otaknya untuk melegalisasikan kemalasannya. Belum lagi tabiat pasrah dan suka menunda-nundanya. Benar-benar kesal menyaksikan kelakuannya ini. Mungkin karena saya sangat mengenal perilaku-perilaku ini dalam dalam diri saya. Seperti lihat diri sendiri jadinya. Jadi rasanya sebal bukan main. OK curcolnya di skip. :`D

Bagi saya yang belum pernah  mengecap ilmu di pondok pesantren (siapa tahu di masa depan ya kan, jadi pengajarnya atau istri pengajarnya atau menantu pengajarnya atau malah jadi pendirinya. Aamiin :D) dan pengetahuan bahasa Arab yang sangat luar biasa terbatas, hanya bisa menebak-nebak kira-kira – seperti juga halnya Rumi – apa yang para ustadz itu tanyakan dan katakan ketika mewanwancarai Rumi pada saat ujian, atau yang dikatakan Ustadz Fahri saat Rumi terlambat mengikuti kelas gara-gara ia tidur setelah sholat subuh. Soalnya pakai bahasa Arab.

Hal yang unik menurut saya adalah titik balik seorang Maulana Jalaluddin Rumi yang memutuskan untuk berubah dengan mencari tahu siapakah sebenarnya orang yang namanya diadopsi bulat-bulat oleh orang tuanya hingga kini menjadi namanya. Banyak orang yang tahu makna namanya sejak ia kecil, namun banyak pula mereka yang baru tahu makna namanya ketika jatah hidupnya telah lama ia hirup. Betapa benar sebuah nama adalah doa, hingga ia bisa merubah kehidupan pemiliknya. Jika mereka katakan apalah arti sebuah nama, saya pastinya tak termasuk dalam perserikatan mereka :D 

Oh iya, saya tidak tahu dengan kamu. Tetapi pada lembar awal novel ini, saya sering harus membaca paling tidak dua kali ketika bertemu dengan frasa “calon santri”. Pasalnya selalu terbaca “calon istri”. Mungkin karena saat itu saya membaca novel ini sambil dalam perjalanan ke walimatul ursy teman saya. Jadi eagak-agak terpengaruh kosa kata alam bawah sadar sepertinya. Padahal hingga akhir novel tak ada satupun kata “calon istri”. :D

Nah kalau kamu? Ataukah kamu malah terperangkap membaca “calon santri” menjadi “calon istri” setelah membaca tulisan review ini? :D 

Nah, terlepas dari pertanyaan itu, yang iyanya, setelah baca novel ini, saya jadi ingin jalan-jalan ke Ponpes Robbani ini. Kira-kira kalau dari Aksara, angkot berapa yang sampai ke sana ya? :D

Book Review: Makna di Balik Ikon-ikon Kota Jakarta


Judul Buku     : The Jacatra Secret – Misteri Simbol Satanic di Jakarta
Penulis           : Rizki Ridyasmara
Penerbit        : Bentang
Tahun Terbit   : Juli 2013
Tebal              : x + 438 halaman



Profesor Sudrajat, pakar ekonomi terkemuka Indonesia, ditemukan tewas tertembak tepat di gerbang Museum Fatahillah Jakarta. Kematiannya semakin misterius dengan adanya sebuah pesan kematian atau dikenal dengan dying message, yang sengaja ia tulis dengan darahnya sebelum nafas terakhirnya. “AS AT DUCH”, begitulah pesannya.

Menariknya, pesan tersebut merupakan sebuah anagram yang dengan mudah dipecah oleh Doktor Jhon Grant, simbolog terkemuka dari Amerika. Ia kebetulan didaulat sebagai keynote speaker dalam acara pertemuan Conspiratus Society, sebutan bagi para penikmat teori konspirasi. Ia tak menyangka bahwa kunjungannya ke Jakarta saat itu akan menjadi sedemikian rumit. Pesan kematian sang pejabat pemerintah tersebut malah menyeretnya dan Angelina, seorang