Why No Why?

12:12 pm Pertiwi Soraya 0 Comments

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Nah, beginilah kalau sudah vakum menulis. Ide yang tiba-tiba hinggap, langsung membelah-belah dirinya, beranak pinak bagai amobea. Meledak-ledak dalam otak. Eeh, tiba jari sudah di atas keyboard, semuanya pun menguap tak bersisa.
Kalau sudah begini, pakai cara lama deh, ingat dulu poin pentingnya, lalu tarik cabang-cabangnya, dan tuliskan saja apa yang terlintas di kepala. Soal runtut tak runtut, nanti-nanti lah itu.

Well, ide ini muncul (tepatnya sih keinginan menulis) ketika seorang muridku bilang, “Love doesn’t need reason” alias cinta itu tak butuh alasan. Well, sebelumnya aku sudah pernah menuliskan beberapa kalimat yang berhubungan dengan topik ini di salah satu diaryku. Namun berhubung lagi males bongkar-bongkar, baiknya ku ingat-ingat saja poin yang kutuliskan waktu itu.

Redaksi katanya kurang lebih seperti ini. “ketika masa SMA akau pasti takkan menolak kalimat ini, ‘cinta itu tak butuh alasan kenapa’.
Kalau  sekarang aku yakin dan percaya kalau cinta itu harus bisa bilang alasannya. Kalau kita mencintai tapi tak bisa bilang alasan mengapa kita mencintai, maka kita harus berhati-hati”. (Aku yakin banget, redaksi katanya tidak benar, tapi intinya dapetlah ^_^).

Silahkan angkat tangan jika Anda tak setuju. (Kalau tak ada orang di samping kanan atau kiri Anda, anda tak perlu cemas seberapa tinggi batas tangan Anda @_@). Saya yakin banyak yang tidak agkat tangan karena emang gak penting-penting amat toh? But, the point is I believe that most of you disagree with me. That’s fine anyway.

Biar tak bertele-tele, let’s have an example. Kalau kita tanya ke ayah dan ibu kita pertanyaan ini, kira-kira mereka jawab apa ya? Kalau ayah dan ibuku, mereka bakal jawab (ini prediksiku loh. Baru nyadar kalau aku gak pernah nanya) begini.

Aku: “Ma, sayang gak sama aku?”
Mama: “Ya sayang la. Masak sama anak sendiri gak sayang”
Aku: “cinta gak ma?”
Mama: “Cinta dong, Sayang”
Aku: “cinta kali gak ma?”
Mama: “Cintaaaa kali”

(Dalam hati mama udah enggak tenang ni. Ni anak buang tabiat apa ya. Gak pernah-pernahnya nanya yang beginian.) *Aiiss sadar untuk kesekian kalinya. Lanjutkan deh dialognya..

Aku: “Kenapa sih ma, kok cintaaa kali”?
Mama: “Namanya anak, masak gak cinta. Orang tua mana yang gak cinta sama anaknya.”
Nah, redaksi kalimat yang terakir ini sih ibu saya banget. (Dialog sebelumnya berle amat ya. Tolong tahan dulu sendal Anda. Acara timpu-menimpuknya di-delay dulu ya. =’))

Wanita yang sifat alaminya berada pada perasaan dan bukan logika, dalam hal ini seorang ibu, paling tidak punya alasan utama kenapa ia mencintai anaknya. Coba kalau bukan anaknya, kira-kira cinta gak ya? Sayang gak ya? Bukan tak mungkin jawabannya “Iya”, namun pasti berbeda bukan tingkat dan bentuk cintanya?

Aku jadi teringat dengan perkataan salah satu dosenku tentang bedanya wanita dengan pria dalam hal perasaan suka. (but, sorry Sir, i forget which lecturer said this). Kalau pria ditanya, kenapa kamu suka jam ini?  Pria umumnya bakal punya banyak alasa kenapa. Karena kulitnya bagus, bermerek, pemberian dari ayah saya, dia menemani saya sejak saya SD, de el el. Nah kalau wanita bilang, “Aku suka deh sama jam ini. Coba deh tanya “kenapa?” hampir semua kaumnya bakal jawab “Yaaa, suka ajah”.

Sama halnya dengan rasa tidak suka, pria bakal bunya seruntut alasan kenapa ia tak suaka akan sesuatu, sedangkan wanita, can you guess? Yah, ketika ditanya mengapa, jawabannya, “yaaa, gak suka ajah.” (Nah, setelah baca tulisan ini, selamat bereksperimen deh.)

Upss, baru ingat saya, ide barusan ternyata bukan dari salah satu dosen saya deng, itu mah dari buku Why men *bla bla bla and women *bla bla bla (Again I forget the title. I can’t remember for the bla bla part. Gotta do something about my brain).

Well, karena saya juga adalah wanita, saya juga serupa. But, after thingking over again, sebenarnya saya bisa mendapatkan alasan kenapa atas pertanyaan tersebut, baik untuk suka maupun tidak suka. Mungkin karena wanita cenderung menggunakan perasaannya dari pada logikanya, makanya jawaban yang muncul adalah, “Yaaa...suka ajah”. 

Dan mungkin karena kata “Cinta” dan perasaan “Cinta” adalah hal yang berhubungan dengan perasaan, banyak orang yang berpikir untuk TIDAK BERPIKIR menggunakan pikiran alias logika. Atau mungkin juga mind set kita yang tanpa kita sadari mengatur otak untuk tidak ikut ambil bagian terlalu banyak. Biarkan hati yang berbicara dan merasa.

Padahal kalau dipikir lebih jauh, hati itu letaknya ada dimanakah? Apakah “hati” yang ada di dekat jantung itu yang “merasa”? atau malah jantung yang memiliki rasa tersebut? Bukannya semua kendali saraf ada di otak? Jadi otakkah yang mengatur perasaan “hati” (yang entah dimana letaknya)? Jadi hati merupakan bagian dari otak? atau otak itulah sebenar-benarnya hati manusia?

Hmm.. apakah Anda pusing? Karena saya juga. Dan seperti biasa, tulisan saya melebar entah kemana-kemana. Sebaiknya saya hentikan pembahasan ini sebelum memakan korban lebih banyak lagi.

But the point is, I believe there is always cause in every effect. Just try to think more of why. Selalu ada sebab dari setiap akibat. Cari tahu saja kenapa.

Ketika aku kecil ayahku pernah berkata, “Kalau berhubungan dengan hal-perihal Tuhan, jangan pernah bertanya kenapa. Otak manusia takkan sampai”. Mungkin itu tak salah. Jadi, ini masih soal cinta, kenapa tak boleh bertanya kenapa?

Thanks for reading. I’ll C U soon next time. ^_^

Alhamdulillah ^_^



You Might Also Like

0 comments:

Thank you for visiting. Feel free to leave your response. 🙏😁😄