Sepotong Cerita dari Kanreapia: Ketika Budaya Bertemu Pemuda

8:20 am Pertiwi Soraya 2 Comments

Hisss! 

Darah segar langsung terbit menetes. Belum sampai 5 detik pisau cutter itu kupegang, alih-alih jeruk nipis yang ku potong, malah ujung telunjuk kiriku yang tersayat cukup dalam. Entah sugesti, entah memang naas, hampir tiap kali ketika aku menggunakan pisau cutter baru, walau sudah sangat berhati-hati, selalu saja ada tragedi sayatan berdarah yang ku alami. Kalau tak terpaksa kali, tak akan mau aku pakai pisau cutter baru. Dan di rewang kali itu, termasuk kondisi terpaksa, karena aku memang tak bawa pisau dari rumah. Ya tak mungkin kan aku bawa pisau dari rumah untuk rewang lintas kabupaten. Dari Aek Loba ke Batu Bara. 

Tahu rewang, kan? Bagi orang Sumut, rewang adalah salah satu tradisi gotong royong ketika ada hajatan. Ibu-ibu terutama bagian masak-memasak, bapak-bapak bagian peralatan, parut kelapa, mengaduk wajik dan jenang, potong lembu dan sebagainya, anak-anak muda bagian angkat piring, bahan makanan, juga lek-lek-an alias jaga malam. 

Selain rewang, ada juga tradisi gotong royong lain yang dulu sering dilakukan, sekarang sudah jarang kulihat di desaku. Sambatan namanya. Ini jenis gotong-royong ketika kita membangun sesuatu. Biasanya satu atau dua hari selesai. Misalnya bangun rumah (setengah papan), membuat kandang lembu, kandang ayam, membuat cakruk, dan sebagainya. Jadi para tetangga (bapak-bapak biasanya) berdatangan ikut membantu. Si tuan rumah akan menyediakan teh manis dan kudapan. Makan siang umumnya tak disediakan, karena bapak-bapak ini akan pulang ke rumah masing-masing ketika jam makan siang. Lalu sorenya akan lanjut lagi.
 
Nah, satu lagi jenis gotong-royong yang dulunya ada di desa kami adalah gotong royong membersihkan lingkungan. Biasanya diadakan di Minggu pagi. Sehari sebelumnya, Pak Kadus akan berkeliling memberitahu tiap rumah. Dulu, 2 pekan sekali pasti ada gotong royong. Sekarang, setahun sekali pun belum tentu ada. Agaknya makin lama dunia makin sibuk dengan urusan masing-masing ya. Tinggal rewang saja kini yang masih dipraktikkan di desa kami. Apakah di semua desa di Indonesia budaya gotong royong memang makin menipis tergerus masa? 

Ternyata tidak semuanya. Ada satu desa di Indonesia yang karena budaya gotong-royongnya malah membuat desanya jadi dikenal dunia. Desa Kanreapia namanya. Sebuah desa di Sulawesi Selatan. 

Ada apa di Kanreapia? 


Desa Kanreapia terletak di lereng gunung Bawakaraeng, kecamatan Tambolo Pao, di Kabupaten Gowa. Daerah ini dikenal dengan kabut dan suhu dinginnya. Saking dinginnya, desa ini dinamakan Kanreapia yang artinya makan api. Kanre: makan, dan Apia: api. Maksudnya, api dimakan pun masih tetap dingin rasanya. 

Desa ini memiliki tanah yang sangat subur. Sangat cocok untuk bertani. Dulunya masyarakat di sini hanya menanam 3 jenis tanaman pertanian saja yaitu markisa, ubi jalar dan jagung. Namun semenjak adanya Rumah Koran (2014) yang digagas oleh Jamaluddin, seorang pemuda daerah yang memilih pulang kampung setelah tamat S2, perlahan-lahan masyarakat desa mulai teredukasi dalam banyak hal terutama soal pertanian. 

Dari yang dulunya menanam markisa, ubi jalar dan jagung, masyarakat desa ini kini beralih menjadi berbudidaya sayuran. Ada setidaknya 10 komoditas utama sayuran yang dihasilkan desa Kanreapia; buncis, wortel, kol, sawi, labu siam, bunga kol, kentang, tomat, daun bawang, dan seledri. 

Dari yang dulunya bertani dengan menggunakan pupuk kimia, kini penduduk desa berangsur-angsur beralih ke sistem pertanian organik. Selain menghasilkan kualitas sayur yang lebih sehat, desa Kanreapia juga kini mampu menghasilkan sayuran segar dengan jumlah yang melimpah. Sehari panen bisa sampai 20 ton sayuran segar. Saking melimpahnya, di masa pandemi COVID-19, para petani sampai bisa menyedekahkan 50 ton sayur segar ke dapur umum Sat. Brimob Polda Sulsel. 

Aksi ini membuat desa Kanreapia dikenal sebagai Kampung Sayur dan kemudian di 2020 mendapat apresiasi sebagai Kampung Binaan Astra. 
Kampung Sayur


Kegiatan sedekah sayur ini masih terus berjalan hingga kini, menyasar panti asuhan dan pesantren di seluruh penjuru Sulsel. Yang buat aku salut adalah, gerakan yang digagas Jamaluddin melalui Rumah Koran, ternyata dilakukan dengan memanfaatkan sistem gotong royong yang ada di desa Kanreapia ini. Ia menggerakkan masyarakat desa melalui warisan budaya nenek moyang yang bahasa lokalnya di sana dikenal dengan sebutan Akkamissi.

Akkamissi adalah kegiatan gotong-royong masyarakat di Kanreapia yang di lakukan tiap hari Kamis. Jadi setiap Kamis warga punya kebiasaan berkumpul untuk melakukan suatu pekerjaan bersama-sama. Kalau di desaku gotong-royong itu (dulu ya) di hari Minggu, sedangkan di Desa Kanreapia, Kamis adalah hari gotong-royong. Rajin ya, tiap pekan gotong-royong. 

Nah, dengan kebiasaan Akkamissi yang dimiliki desanya, Jamaluddin, penerima SATU Indonesia Award 2017, berhasil menggerakkan warga desanya dalam hal pertanian berbasis ekoliterasi. Seperti dalam pertanian organik, ketika membuat pipanisasi dan sprinkler untuk sistem penyiraman, membuat lahan percontohan, memanen air hujan, membuat kompos, sedekah sayur, dan lain sebagainya, lagi-lagi diterapkan sistem Akkamissi

Begitu juga ketika bersama-sama membangun embung (tempat penampungan air) sampai desa ini punya 100 embung, sehingga Kampung Sayur mampu tetap hijau meski di musim kemarau. Petani di Kanreapia bisa dibilang bisa panen sepanjang musim. Ini semua merupakan hasil dari penerapan edukasi dan gotong-royong, Akkamissi. 
KBA Kanreapia


Dan ternyata efek dari penerapan edukasi dan gotong-royong yang digagas Rumah Koran ini tak hanya sebatas meningkatnya kesejahteraan ekonomi dan tabungan akhirat masyarakat Desa Kanreapia saja. Ada efek pelestarian lingkungan yang signifikan ternyata, sehingga di 2023, Kementerian Lingkungan Hidup pun memberikan penghargaan tertinggi pada desa ini sebagai Kampung Iklim

Tak berhenti sampai situ, keunikan dari sebuah budaya gotong-royong yang diterapkan di desa Kanreapia sehingga bisa menjaga iklim dan lingkungan di desa inilah yang kemudian dilirik oleh dunia internasional pada ajang COP28 di Dubai tahun 2023, sebuah ajang konferensi tahunan tentang perubahan iklim yang digagas oleh PBB. Jamal pun diundang sebagai narasumber pada ajang tersebut sebagai perwakilan Indonesia untuk bercerita tentang Desa Kanreapia, tentang bagaimana pertanian di sana, tentang bagaimana penerapan budaya Akkamissi di Kanreapia sehingga membuat desa itu terjaga iklim dan lingkungannya. 

Cerita tentang budaya gotong royong di Kanreapia ini mau tak mau mengingatkanku pada The Butterfly Effect, efek kepakan sayap kupu-kupu. Sepasang sayap apalah rasanya, namun ketika semua kupu-kupu di sebuah pulau serentak mengepak, tornado yang dihasilkan. 

Kini kita sampai di jaman yang tumbuh kembang generasinya semakin lebih akrab dengan berkompetisi daripada bekerja sama. Memang ada banyak hal yang lebih efektif dan menyenangkan dilakukan sendiri, sedangkan jika dilakukan bersama buat makan hati. Mungkin itu juga yang menyebabkan kita lupa atau pura-pura lupa (sehingga jadi terbiasa lupa) bahwa banyak pula hal yang jauh lebih berfaedah jika dilakukan bersama-sama. Semoga Indonesia yang dulu budaya gotong-royong dikenal sebagai identitas, tidak tinggal sekadar nama ketika bertemu generasi masa depan. 

Tulisan ini didedikasikan untuk memperingati 97 tahun Sumpah Pemuda



Sumber: 

Youtube SATU Indonesia award: Bincang Inspiratif 16th SATU Indonesia Award 2025 Manado

Youtube Rumah Koran: Kanreapia di A_Satu TVRI

Youtube Tv Tani Rumah Koran : KBA Kanreapia di Zona Tani TVRI Sebagai Kampung Sayur

https://rri.co.id/features/390438/kisah-inspiratif-jamaluddin-pencerdas-anak-petani-desa-kanreapia (diakses 20 Oktober 2025) 

rumah-koran.blogspot.com
Instagram @rumah.koran
Instagram @kbakanreapia
Instagram @tvtanirumahkoran
Instagram @kampung.sayur




You Might Also Like

2 comments:

  1. Jadi pingin stay seminggu di sana, ada jasa wisata nya gak ya?

    ReplyDelete
  2. Jadi pingin stay seminggu di sana, ada jasa wisata nya gak ya?

    ReplyDelete

Thank you for visiting. Feel free to leave your response. 🙏😁😄